Memeluk Diri
Waktu berjalan seolah-olah
enggan berhenti untuk menemani hati yang berantakan oleh serba serbi dunia yang
terkadang membuat raga ikut lelah di dalamnya. Didalam hanyutnya raga dalam
lelah, kaki harus terus berjalan entah terseok-seok, entah harus sembari merangkak,
tidak ada jeda untuk berhenti. Mungkin, sebagian dari kita sudah babak belur
berjalan di atas rentetan waktu, sebenarnya adakah makna dari perjalanan yang
kita lalui? bagaimana dengan upaya-upaya yang kita lakukan? bagaimana?!
Terkadang raga tenggelam diantara kebingunan apakah benar itu yang dibutuhkan?
Atau hanya mengikuti alur yang terpampang di lini masa media sosial?
Dear, waktu tidak akan
pernah berhenti sampai Tuhan mengatakan "berhentilah!". Lalu
bagaimana? Berlatihlah memunculkan kejujuran itu dari dalam hati. It's Ok not
to be Ok. Bukan sebuah hal yang salah jika mengatakan bahwa kita lelah atau
bahkan kecewa dan sedih. Raga lain tak bisa mengerti raga yang kita miliki
seutuhnya, maka kita yang harus jujur kepada raga yang lain. Menangislah jika
itu perlu, marahlah jika itu perlu, menyendirilah jika memang itu diperlukan,
tetapi berjanjilah bahwa setelah itu akan berdiri kembali dan memulai semuanya
kembali. Peluklah diri sekuat-kuatnya. rangkullah jiwa seerat-eratnya, dunia
terlalu keras jika kita hanya membiarkan diri berdiri tanpa tiang.
Dunia sangat melelahkan,
memang! Dunia memang sangat melelahkan. Maka, peluklah diri kita, tenangkan
emosi kita, kuatkan hati kita. Terkadang kita terlalu egois kepada diri sendiri
hanya untuk sekedar feed atau mungkin tepukan tangan teman-teman kita tanpa
kita peduli dengan kapasitas kapan diri kita harus diistirahatkan. Diri semakin
tak peduli dengan raga dan hati hingga muncullah titik dimana ternyata selama
ini hampa adalah yang kita dapatkan. Merasa seakan-akan kita adalah makhluk
kecil yang tak berguna dan tak dapat mengambil suatu langkah bijak untuk
langkah kedepan, atau bisa disebut hilangnya kepercayaan diri. " Kok aku
kayaknya gak bisa apa-apa yaa?", " Kok kayaknya aku stuck disini aja
si?", " Kenapa si aku harus selalu kecewa?". Mengapa bisa
terjadi? Kitalah yang kurang berwelas asih kepada diri kita.
Paul Gilbert dari Kingsway Hospital di Inggris, dan juga Kristin Neff, University of Texas, Austin memberikan statement bahwa memiliki rasa welas asih pada diri sendiri di masa sulit justru akan membuat diri kita cepat bangkit dan dalam jangka panjang memberikan kesuksesan dan kebahagiaan.
Neff menjelaskan bahwa banyak dari partisipannya berusia di atas 50 tahun. Neff menemukan bahwa orang akan jauh lebih menghargai diri sendiri saat berusia 60 tahun ketimbang saat berusia 16 tahun. Saat sudah tua, orang tersebut akan telah melalui sangat banyak hal, dan menyadari bahwa tidak ada hidup yang sempurna. Selain itu ada perasaan “telah banyak belajar dari kesalahan” pada orangtua, sehingga perasaan menyalahkan diri sendiri menjadi semakin berkurang. Perasaan menyalahkan diri sendiri ini merupakan mekanisme “self attack” yang sering sekali muncul pada orang-orang yang muda. Di masa-masa sulit, Neff menyarankan teknik yang dinamakan meningkatkan self-compassion/welas asih. Ini bisa dilakukan dengan memeluk diri sendiri, atau meletakkan tangan di dada dekat dengan jantung dan merasakan detaknya. Karena kita bisa meredakan stress melalui sentuhan.
Dear sahabat, peluklah diri
kita seerat-eratnya dan katakan "Terima kasih diri ku. Kamu hebat! Kamu
dapat bertahan sejauh ini. Dan Kamu luar biasa.". Dengan semakin tingginya
kecintaan diri kita, akan secara otomatis, akan muncul pembaharuan semangat
setiap harinya. Target-target yang kita buat bukan sebagai beban, melainkan
sebagai tolok ukur langkah-langkah apa yang harus dilakukan. Berhenti
untuk membandingkan diri kita dengan orang lain. Setiap bunga memiliki waktu
bertumbuhnya masing-masing, begitupun kita. Bersyukurlah, hingga kita lupa
bahwa tidak ada kekurangan pada diri kita, dan tetap mengakui bahwa kesempurnaan
hanyalah milik Allah.Maafkanlah sakit hati dan kecewa yang kita rasakan,
kembalilah dengan hati dan diri yang bijak dan bersyukurlah.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (Q.S. Ar-Rahman:13)
Itulah yang Allah selalu ingatkan kepada kita. Sebagai penguat bahwa kita tidak akan pernah kurang dan sulit, jaminan yang Ia berikan kepada setiap hamba-Nya.
Sumber :
e-journal Undiksa jurusan Bimbingan Konseling (2014)
Great article. Break a leg ��
ReplyDelete