Antara Aku dan Takdir-Nya



Berbicara takdir, seakan berbicara pada siluet gambaran kolase hidup yang tidak mampu ditebak. Waktu yang berjalan seakan berperan sebagai kereta dan kita adalah penumpangnya. Banyak takdir yang harus dilewati tanpa adanya intervensi, ada pula takdir yang berputar haluan karena sebuah permohonan. Segalanya berjalan sangat halus setiap waktu, setiap detik tanpa ada keluar dari skrip yang telah Ia buat jauh sebelum diri melihat dunia. 

Berbicara takdir, tidak hanya terbatas pada kapan diri akan kembali, dengan siapa hati akan berlabuh, namun juga pada kepada siapa kita dipertemukan. Percayalah, tidak ada pertemuan yang telah ditakdirkan tanpa ada tujuan. Terkadang pertemuan mengajarkan untuk saling mengambil pelajaran, atau mungkin bisa jadi sebagai sarana untuk saling melengkapi. Adapula pertemuan yang memang seharusnya terjadi karena ada kebaikan didalamnya, pun sebaliknya. Diantara pertemuan itu pun terselip sebuah takdir yang mungkin dapat menjadi ibroh bagi subjeknya. Dapat dikatakan pertemuan  digambarkan seperti kereta. Setiap pertemuan memiliki limitasi waktu yang kelak akan berakhir di pemberhentian stasiun berikutnya. Kembali lagi, segalanya adalah sebuah skenario yang telah Ia tulis jauh sebelum pertemuan itu terjadi.
 

Berbicara takdir, terkadang sejalan dengan keinginan, terkadang bertolak belakang, ada pula yang kadang membahagiakan, pun menyedihkan. Percayalah, tidak ada takdir yang sia-sia meskipun harus ada air mata pada awal episodenya. Diantara abstraktif takdir, ada sebuah poin yang harus digarisbawahi, yaitu nilai dibalik takdir itu sendiri. Tidak ada takdir yang buruk, segala ketetapan yang telah Ia tetapkan adalah segala bentuk rencana yang paling baik untuk menghindari diri dari sebuah keburukan dimasa depan. Ada pula terkadang takdir Ia modifikasi untuk menghindari hati yang terlalu berharap pada makhluk-Nya. Semua terjadi untuk sebuah skenario kebaikan dimasa depan. 

Penerimaan takdir pun tidak sepenuhnya lapang, terkadang harus terluka, terseok, menangis atau bahkan seperti kehilangan sebagian diri. Percayalah, itu hanyalah sementara. Tidak ada hati dan diri yang betul-betul kecewa dan hancur, selagi diri meminta Ia menggenggamnya. Terkadang kehancuran itu akan membawa sebuah kelapangan yang mungkin hanya ditunda sebentar. Seakan seperti badai, mungkin secara kasat mata diri hanya melihat pada sisi kerusakannya saja, namun bisajadi badai tersebutlah yang membersihkan jalan di depan yang akan dilalui. Mungkin point pentingnya adalah, tetap berbaik sangka atas apa yang terjadi pada diri. Antara aku dan takdir-Nya, mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan, tapi pasti sesui dengan kebutuhan.

كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah : 216)



Comments

Popular posts from this blog

BERTUMBUH

Memeluk Diri