Tenang

 


Kita pasti pernah mengalami masa krisis yang tidak berujung. Masa distraktif yang menggulung harapan rapat-rapat hingga seperti tak ada sapa mimpi yang berlari. Menganggap segalanya baik-baik saja tak serta merta akan mengembalikan keadaan tepat dipusat ketika dunia masih berdiri pada titik seharusnya. Pikiran yang terus dikendali sedih mungkin telah kehilangan izzahnya sebagai tumpuan manusia dalam mengambil sebuah keputusan. Hingga pada akhirnya asa yang lenyap entah harus dicari kemana.

Katanya waktu akan berkerja dengan porsinya, mengembalikan rasa, pikiran, dan fisik yang hancur tergerus oleh distraksi dunia dan sosial media. Tetapi, pada kenyatannya tidak. Luka bahkan semakin menjalar keseluruh relung dan memutar kembali segala luka pada masalalu. Menghilangkan raga pada jati dirinya, hingga pada akhirnya manusia akan berfikir bahwa, ternyata mereka butuh tenang untuk merotasikan kembali diri yang hilang pada garis edarnya.

Hingga pada saat kritis, raga pun masih menunggu tenangnya. Seperti kata Yura Yunita, "Tenang yang tak kunjung datang dalam penantian cahaya yang diujung dini hari yang diisi pada oleh dialog diri". Mengapa tenang pun enggan menghampiri raga yang membutuhkannya? Karena tenang memang harus dicari. Pun, disaat krisis tak berujung, bukan healing seperti yang ada pada lini masa yang seharusnya dilakukan. Acapkali kita lupa menerima bahwa keadaan saat ini lebih sulit dari pada yang kita bayangkan. Seringnya kita menganggap bahwa kita masih mampu. Memang betul, Tuhan tidak akan membebani makhlluk sesuai dengan batas kemampuan, tetapi diri perlu diberi pengakuan oleh pemiliknya. Januh yang tertumpuk, bahkan sudah menggunung di kepala akan tumpah sewaktu-waktu. Bukan berkata "Yuk Bisa Yuk!" yang seharusnya pertama kali dikatakan. Memberi afirmasi positif memang sangat diperlukan, tetapi menerima diri pertama kali sesuai dengan keadaan sebenarnya adalah kunci untuk dapat mengeluarkan afirmasi yang sebenarnya. Pada kenyatannya afirmasi yang berdalih menguatkan harapan malah berfungsi sebaliknya bukan?

Agaknya harapan yang kita kejar telah meretas hak mutlak yang seharusnya didapat oleh diri. Alih-alih berjuang, ternyata malah menggerus diri perlahan. Ada hal yang kita lupakan saat kita mencoba berproses setiap harinya. Pertama adalah jujur pada diri sendiri dan Tuhan yang diikuti Sabar serta ikhlas. 
Aku pun teringat pada kutipan yang ditulis oleh Teh Novi, salah satu psikolog muslimah Indonesia. Dia membuat kutipan seperti ini

" Dunia ini ternyata bergitu riuh dan berdinamika, sullit kutemukan tenang yang sebenarnya. Namun, itulah hakikat dunia, tempat kita diuji dan mengupayakan yang terbaik sebagai bekal kepulangan menuju-Nya"
-Heal Yourself-

Aku terfokus pada kata  "Bekal kepulangan menuju-Nya". Aku berfikir ini lah benang merahnya mengapa tenang sulit untuk digapai. Sesuatu yang dilakukaan saat memulai sebuah rancangan adalah mengembalikan segalanya kepada-Nya dan melakukan segalanya untuk-Nya. Tidak ada ketenangan semu jika ketenangan yang dituju adalah ketennagan yang abadi. Ketenangan yang akan memberikan cahaya pada saat kita mananti pada ruang gelap yang menghabisi akal sehat. Tenang pasti akan datang disaat raga membutuhkan, meskipun hanya sekedar menepuk dan menghantarkan raga pada sajadah lusuh yang telah tersimpan lama. 

Lalu, sudah berapa lama kita mengabaikan sinyal ketenangan yang datang disetiap waktu sebanyak 5 kali sehari?




Comments

Popular posts from this blog

BERTUMBUH

Memeluk Diri

Antara Aku dan Takdir-Nya